Jabatan Sebagai Utang Politik: Wajah Gelap Negara Hukum
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tegas menyebut: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Artinya, segala kekuasaan harus tunduk pada hukum, bukan pada selera atau kepentingan penguasa. Namun sayangnya, dalam praktik politik kita, jabatan publik sering diperlakukan bukan sebagai amanah, melainkan sebagai “hadiah” untuk balas budi politik.
Alih-alih profesionalisme, yang berjalan justru patronase: siapa berjasa, dia dapat kursi. Dan lebih parah, tidak jarang jabatan hasil balas budi itu berujung pada korupsi.
Utang Politik yang Berujung Jeruji Besi
Kita bisa melihat contohnya pada Immanuel Ebenezer (Noel), yang sempat diangkat sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan. Ia dikenal sebagai aktivis politik, lalu diberi jabatan tinggi. Tetapi tak lama kemudian, ia justru ditangkap KPK dalam kasus dugaan pemerasan, dengan barang bukti mewah berupa 22 mobil sitaan. Akhirnya Noel dicopot langsung oleh Presiden.
Kisah ini mengingatkan publik pada Edhy Prabowo, Menteri Kelautan dan Perikanan. Ia bukan orang sembarangan, melainkan figur politik yang dekat dengan lingkaran kekuasaan. Tapi jabatan yang seharusnya dipakai untuk melindungi sumber daya laut justru dipakai untuk memperkaya diri. Ia terjerat korupsi ekspor benih lobster, dan Mahkamah Agung menjatuhkan vonis 9 tahun penjara pada 2023.
Dari dua kasus itu kita bisa melihat pola yang sama: jabatan diberikan bukan semata karena kemampuan, tapi juga karena “jasa politik”. Dan ketika jabatan diperlakukan sebagai utang, maka godaan untuk “mengembalikan modal” lewat korupsi jadi semakin besar.
Negara Hukum yang Dikhianati
Praktik ini jelas bertentangan dengan hukum. UU No. 28 Tahun 1999 mewajibkan penyelenggara negara bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara itu, UU Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) menegaskan bahwa siapa pun yang menyalahgunakan kewenangan hingga merugikan negara bisa dipidana.
Jadi, ketika jabatan diberikan sebagai balas budi, risiko lahirnya pengkhianatan terhadap negara hukum bukan lagi kemungkinan—tetapi kepastian yang hanya menunggu waktu.
Patronase Politik: Akar Masalah
Ilmuwan politik Marcus Mietzner menyebut patronase politik sebagai penyakit kronis demokrasi Indonesia. Politik biaya tinggi membuat elite politik harus “membayar utang” dengan jabatan. Dari sinilah pintu korupsi terbuka lebar.
Hal yang sama diingatkan oleh Saldi Isra, Hakim Konstitusi. Menurutnya, sistem presidensial kita terlalu “executive heavy”—terlalu berat di eksekutif. Presiden punya kekuasaan besar dalam menentukan kursi menteri atau pejabat, dan ini sering jadi alat tawar politik.
Bukan Sekadar Ganti Orang
Lalu, apakah solusinya hanya dengan mencopot pejabat yang ketahuan korup? Tidak sesederhana itu. Masalahnya ada pada sistem. Selama jabatan masih bisa diperlakukan sebagai utang politik, maka praktik patronase akan terus berulang.
Negara hukum tak boleh hanya jadi slogan. Saatnya ada keberanian politik untuk membatasi kekuasaan, termasuk wacana pemisahan jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan agar hukum tidak terus tunduk pada kekuasaan.
Korupsi pejabat publik adalah wajah paling gelap dari praktik utang politik. Ia bukan sekadar pencurian uang rakyat, tapi pengkhianatan terhadap konstitusi dan amanah jabatan. Jika kursi pejabat terus dipakai sebagai alat balas budi, rakyat akan terus jadi korban, dan janji “negara hukum” hanya tinggal tulisan dalam UUD 1945.
Sumber Hukum & Referensi
-
UUD 1945 Pasal 1 ayat (3): “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
-
UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, Pasal 3.
-
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 (Tipikor), Pasal 2 & 3.
-
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Negara Hukum, 2006.
-
Saldi Isra, Sistem Presidensial yang Executive Heavy, makalah hukum tata negara, 2010.
-
Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and Democracy in Indonesia, 2009.
-
Putusan Mahkamah Agung RI No. 486 K/Pid.Sus/2023 (kasus Edhy Prabowo).
hukumonlie,tempo.co
Posting Komentar untuk "Jabatan Sebagai Utang Politik: Wajah Gelap Negara Hukum"